Popular Post

Home » » Petani Tua dan Malaikat Penjemput

Petani Tua dan Malaikat Penjemput

Written By Bodhonk on Sabtu, 14 Juli 2012 | 22.45


13421677241360806803
Ilustrasi/Admin (Kampretos/Pak tri N)
Pintu gerbang yang begitu lebar dan tingginya hampir tak terlihat itu kini ada di depannya. Dua penjaga di depan pintu itu tampak tinggi dan besar. Pakaian dua penjaga itu aneh menurutnya. Dua penjaga itu mengamatinya beberapa lama, lalu tiba-tiba…
——————-
Siang ini udara terasa mendidih terpanggang matahari…

Pak Atmo menghentikan ayunan cangkulnya. Ia berdiri dengan tangan kiri memegang pinggangnya dan tangan kanan di dahinya sambil melihat ke atas. Matahari telah berada  persis di tengah bentangan langit.

Pak Atmo memutuskan untuk melanjutkannya nanti setelah ia pulang untuk mandi, bersembahyang dan makan siang. Terlalu cepat agaknya waktu sekarang ini, rasanya ia belum  mendapatkan lalahan* sejak pagi.

Ah, waktu masihlah tetap pada porosnya, tenaganyalah yang sebenarnya telah jauh berkurang karena usia. Pak Atmo menyadari itu, hanya semangat yang sebenarnya masih bisa membuatnya terus mengayun cangkul sampai hari ini.

Sejenak Pak Atmo memandangi tanaman tembakaunya yang sebagian tadi telah di dangir*-nya. Ada semangat tersendiri jika musim tanam tembakau tiba. Selalu ada harapan yang membuat ia rela membelah dinginnya pagi untuk segera melihat tunas-tunas tembakau yang mulai riang setelah nglilir*.
Rasa lelah memaksa Pak Atmo untuk sejenak duduk di bawah rumpun pohon pisang yang tumbuh di pojokan sawahnya. Ia ingin melepas lelah sejenak sebelum melangkah pulang.

Air putih yang di bawanya dalam botol bekas air mineral yang sudah tampak kecoklatan itu cukup lumayan untuk membasahi kerongkongannya yang mengering dan menyegarkannya kembali.

Usai meneguk air, Pak Atmo mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong celana gombrang hitamnya. Slepen*…berisi tembakau dan bumbu-bumbunya yang berupa cengkeh*, klembak* dan kemenyan*, serta kertas rokok. Ia mulai membuat rokoknya sendiri. Mula-mula selembar kertas rokok, lalu sejumput tembakau dan dibumbui dengan cengkeh, cuilan*kecil-kecil klembak dan terakhir kemenyan yang diremukkan dan ditaburkan diatasnya, dan lalu melintingnya.

Beberapa jurus kemudian Pak Atmo mulai menikmati hisapan demi hisapan rokok lintingannya, sembari mengipas-ngipaskan topi rimba doreng lusuh untuk menyejukkan badannya. Angin semilir tiba-tiba datang dan ia merasakan kesegaran disertai rasa penat yang perlahan mulai berkurang. Sejak tadi angin memang terasa mati dan udara seperti diam, sehingga terasa begitu gerah seiring dengan semakin panasnya matahari.

Angin semilir yang membuai membuat Pak Atmo merasakan kantuk yang sangat, dan itu membuat rencananya untuk segera pulang terlupakan. Pak Atmo tertidur, rokok lintingannya yang terselip diantara telunjuk dan jari tengahnya terjatuh tanpa terasa…
———————
Seseorang dengan pakaian serba putih, yang membalut hampir semua bagian tubuhnya, tiba-tiba datang di depannya. Bahkan kaki orang itu sendiri tak terlihat sama sekali, karena tertutupi kain putihnya yang terlihat tebal, termasuk kepalanya. Hanya wajahnya saja yang terlihat.

Pak Atmo bertanya-tanya, siapa gerangan orang ini, kenapa ia tiba-tiba saja ada didepannya.

“ Pak Atmo…” orang dengan pakaian serba putih itu memanggilnya. Suaranya terdengar ramah, halus dan tenang. Pak Atmo semakin heran, orang itu mengenalnya ? sedang ia sendiri tak tahu siapa orang dengan pakaian serba putih yang menutupi sekujur tubuhnya itu.

“ Tidak perlu takut, mari ikut saya Pak…!” kata orang itu lagi.
Ikut ? kemana ?

Wajah orang itu tampak bersih dan bersinar-sinar, sepasang matanya bercahaya. Pak Atmo memperhatikan dengan seksama. Orang itu terlihat bersungguh-sungguh dengan ajakannya. Ia ingin sekali bertanya, tapi mulutnya terasa terkunci.

“ Mari Pak Atmo !”
“ Ke…mana ?” akhirnya Pak Atmo memberanikan diri untuk bertanya.
“ Ke tempat Bapak…” kata orang itu lagi, sambil menatapnya dengan pasti.
“ Ke tempat saya ?”
“ Benar, mari !”

Pak Atmo bangkit dari duduknya, orang itu, meski membuatnya keheranan, tapi ia merasa tak bisa menolak ajakannya. Sesaat setelah ia berdiri, ia kembali dibuat keheranan lagi. Kali ini pada kenyataan bahwa tubuhnya terasa ringan sekali, tak ada kelelahan yang tadi begitu terasa setelah mencangkul sejak pagi.

Ia melihat ke sekeliling, suasana yang sekarang terlihat begitu temaram dan ia kembali bingung. Bukankah ia ada di sawah, dan matahari tengah bersinar begitu terang dan perkasa ? kenapa tiba-tiba saja ini seperti senja yang berselimut mendung…

Kini yang ada dalam pandangan matanya hanyalah sebuah jalan setapak yang tak begitu lebar, persis jalan sawah, tapi begitu lurus dan ujung jalan tertutup kabut putih yang halus.

Keheranan lalu lalang di benak Pak Atmo. Pertanyaan yang timbul dari rasa heran yang teramat sangat itu menguap kelu di ujung bibir hitamnya.

“ Saya ada dimana ?” Pak Atmo memaksa keluar pertanyaannya.

Orang itu tersenyum ramah padanya.

“ Ada di jalan menuju tempat Bapak ! mari ikut saya !”
Lalu orang dengan pakaian serba putih itu berjalan dan memberi isyarat agar Pak Atmo segera mengikutinya. Tak ada yang bisa dilakukan Petani tua itu kecuali mengikuti orang asing yang tiba-tiba datang padanya, dan mengajaknya pergi ke suatu tempat. Tempat yang dikatakannya sebagai tempat dirinya. Sementara ia sama sekali tak mengenali tempat ini, tempat yang ia tak tahu kenapa ia tiba-tiba bisa berada disini.

Tempat apa, dimana tempat itu…?

Orang itu berjalan pelan dan Pak Atmo mengikuti di belakangnya. Dalam jalan pelannya mengikuti orang berpakaian serba putih itu, kebingungan masih menyelimuti hati petani tua itu. Betapa tidak, ia tiba-tiba saja berada di suatu tempat yang bukan saja belum pernah dilihatnya sama sekali, tapi juga suasana yang ada begitu aneh dan sangat berbeda.

Temaram, seperti tak ada matahari, hanya kabut-kabut yang menyaput di segala penjuru.

Di kiri dan kanan jalan setapak itu yang ada hanyalah hamparan air semata-mata. Seperti telaga tanpa riak gelombang biar kecil sekalipun. Kabut tipis menjadi pembatas cakrawalanya, yang membuat petani tua itu tak bisa memperkirakan seberapa luasnya hamparan air itu.

Hamparan air di sebelah kanan jalan setapak itu tampak begitu bening dan berkabut tipis. Air itu tampak sejuk dan menyegarkan. Sementara hamparan air di sebelah kiri jalan tampak menghitam dan begitu pekat, begitu juga kabut hitam yang menyaput diatasnya.

“ Ini tempat apa ?” batin Petani tua itu penuh dengan sejuta pertanyaan.

“ Jangan takut, Bapak akan tahu sendiri nanti !” kata orang dengan pakaian serba putih tiba-tiba. Pak Atmo terkejut, sepertinya dia tahu apa yang dipikirkannya. Mereka melanjutkan perjalanan, tapi jalanan setapak itu seperti tak berujung dan entah akan berakhir dimana…panjang sekali !

Petani tua itu mulai merasa di cekam rasa takut dengan suasana yang semakin aneh di hadapannya. Jauh sudah mereka berjalan, tapi jalan setapak itu belum lagi sampai diujungnya.

Hamparan air itu kini tak ada lagi. Yang terlihat di sebelah kanan jalanan setapak kini adalah sebuah tempat lapang yang ditumbuhi pohon-pohon hijau dan tanaman-tanaman bunga warna-warni, dengan bentangan rumput hijau seperti permadani yang sepertinya nyaman sekali untuk duduk-duduk melepas lelah. Burung-burung beterbangan dan kupu-kupu menari-nari begitu indahnya. Anak-anak kecil berlarian dengan gembira, orang-orang berjalan kian kemari seperti di pasar malam, dan wajah-wajah mereka tampak gembira. Kabut tipis berwarna putih menghiasi tempat itu.

Sejenak Petani tua itu merasa senang dan melupakan semua kebingungannya.
Tapi itu hanya sekejap saja ia rasakan, karena ia hampir terlonjak ketika ia melihat apa yang ada di sebelah kiri jalan setapak itu. Sebuah jurang yang tertutup kabut hitam. Yang terlihat samar-samar di sana adalah puing-puing yang tampak berasap. Petani tua itu merasakan  kengerian  yang luar biasa dan sangat ketakutan melihat puluhan, bahkan mungkin ribuan tangan yang menggapai-gapai, di tingkah suara jeritan, rintihan dan teriakan yang terasa menusuk-nusuk jantungnya.
Sementara perjalanan entah masih berapa lama lagi. Petani tua itu berusaha menguatkan hatinya yang benar-benar tercekam oleh pemandangan mengerikan itu.

“ Bapak tak perlu takut, kita sudah sampai !” kata orang dengan dengan pakaian serba putih itu.

Pak Atmo yang tadi merasakan ketakutan yang bercampur keheranan, kini takjub melihat apa yang terlihat didepan matanya.

Sebuah pintu gerbang yang begitu lebar dan tingginya hampir tak terlihat itu kini ada di depannya. Dua penjaga di depan pintu itu tampak tinggi dan besar. Pakaian dua penjaga itu aneh menurutnya. Orang dengan pakaian serba putih itu mengucapkan salam pada dua penjaga itu dengan ramah.

“ Saya mengantarkan seorang petani tua !” kata orang dengan pakaian serba putih pada dua penjaga dengan tubuh tinggi besar.

Mereka bertiga terlibat dalam pembicaraan yang sama sekali tak di mengerti petani tua itu hingga beberapa lama. Dua penjaga itu mengamatinya beberapa lama, lalu keduanya saling berpandangan, tiba-tiba…

“ Kenapa dan bagaimana kau bisa datang kesini ?” tanya salah seorang dari dua penjaga itu. Pak Atmo kebingungan untuk menjawabnya.

“ Saya…di ajak….” jawaban Pak Atmo tertahan oleh keraguannya menyebut orang dengan baju serba putih yang tiba-tiba datang dan mengajaknya hingga sampai di depan pintu gerbang nan besar itu.

“ Pulang ! kau belum bisa masuk !” hardik mereka. Petani tua itu ketakutan dibuatnya.

“ Kau membawa orang yang belum bisa masuk ! antarkan dia pulang !” kata salah satu dari dua penjaga itu, pada orang berpakaian serba putih tadi.

Sementara Pak Atmo hanya bisa ketakutan bercampur kebingungan, orang berpakaian serba putih itu mengucapkan terima kasih pada dua penjaga itu, dan mohon diri. Dua penjaga itu mengangguk-angguk. Orang dengan pakaian serba putih mengajak petani tua itu untuk kembali.

“ Maafkan saya, Bapak harus pulang dulu ! mungkin jika sudah tiba waktunya saya akan kembali lagi !”
“ Saya tidak mengerti…” kata Pak Atmo.
“ Bapak akan mengerti nanti !”
“ Saya tidak tahu tempat apa itu tadi…”

“ Bersyukurlah Pak, Bapak masih diberi waktu untuk mencari lebih banyak lagi, untuk memilih tempat ! tadi Bapak sudah melihat semuanya, tentu Bapak tahu, tempat mana yang Bapak inginkan…”

Petani tua itu benar-benar bingung, sedikitpun ia tak bisa mengerti. Mencari lebih banyak lagi ? memilih tempat yang diinginkan…?

Rasanya perjalanan kembali jauh lebih cepat. Tadi ia berpikir akan kembali melewati jalan setapak itu lagi. Ternyata tidak ! tiba-tiba ia sudah tiba lagi di sawahnya. Ini aneh !

“ Jangan pernah salah untuk memilih tempat yang Bapak inginkan, Saya harus kembali, pulanglah ! mereka sudah menunggu !”

Sesaat setelah mengucap kata itu, orang dengan pakaian serba putih itu serta merta menghilang tanpa bekas. Hilang begitu saja, meninggalkan pak Atmo yang tertegun sendiri.
——————-
Pak Atmo terlonjak kaget !
Pandangan matanya nanar, ia memaksa ingatannya untuk bekerja. Ia melihat sekeliling sambil mengusap-usap kedua matanya untuk meyakinkan apa yang dilihatnya, dan mengingat apa yang  baru saja dialaminya.

Ah, ternyata itu tadi hanya mimpi dalam tidurnya di bawah pohon pisang. Petani tua terdiam untuk beberapa lama. Mimpi itu seperti nyata saja layaknya. Seseorang dengan pakaian serba putih tiba-tiba datang padanya dan mengajaknya pergi ke suatu tempat yang dikatakannya sebagai tempatnya. Sebuah tempat yang sangat aneh dan asing.

Setelah semua ingatannya kembali, ia sadar bahwa hari telah gelap. Buru-buru ia bangkit dan ia ingin segera pulang. Ia sangat ingin bercerita pada istri dan anaknya perihal mimpi anehnya itu. pertanda apakah ini…

Siapakah sebenarnya orang dengan pakaian serba putih itu.
——————-
Tiba di rumahnya, Pak Atmo melihat lampu dirumahnya tampak lebih terang dari biasanya. Dan rumahnya juga tampak ramai.

Seperti biasa, ia selalu lewat belakang jika ia pulang dari sawah, untuk mandi di kiwan*. Suasana di dapur terdengar riuh. Petani tua itu tak mempedulikan, ia ingin segera mengguyur sekujur badannya yang lengket oleh sisa keringat.
Tapi sejenak ia mengurungkan niatnya untuk masuk kamar mandi yang terletak di belakang rumahnya itu. Rasa penasaran oleh karena keriuhan di dapur rumahnya lebih menguasainya. Ada aroma masakan sedap yang tercium hidungnya. Rasanya seperti sedang masak besar.

Pak Atmo mendekat ke pintu dapur dan melihat ke dalam…benar ! banyak orang-orang perempuan yang tengah sibuk di sana. Keheranan menyelimuti batin petani tua itu. Rasa-rasanya ia sedang tak punya hajat. Istrinya juga tak pernah rasan-rasan* akan mengadakan suatu acara.

Pak Atmo berdiri di ambang pintu dapur.

Sejurus kemudian, yang ia dapatkan bukan jawaban dari keheranannya, melainkan teriakan histeris para perempuan yang tengah sibuk didapur itu, ketika salah seorang melihatnya berdiri di ambang pintu dapur. Mereka berlarian ketakutan melihatnya. Suasana berubah menjadi sangat tegang. Mereka menjerit-jerit, dan beberapa bahkan sempat jatuh tersandung apa yang menghalangi mereka dan tak terlihat karena panik.

Ketegangan itu kemudian berlangsung menjadi tak terkendali. Hampir semua orang perempuan menangis ketakutan, dan sebagian saling berpelukan.

“ Ini ada apa ?” Pak Atmo bertanya keheranan. Ia berjalan kesana kemari mendekati siapa saja untuk meminta penjelasan tentang apa yang terjadi. Tapi mereka terlihat ketakutan melihatnya.

“ Lha kok malah padha wedi ki ana apa* ?”

Pak Atmo mengeluh melihat semua berlarian, sementara ia begitu ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa seharian ini penuh dengan keanehan. Mimpi dalam tidurnya di sawah tadi dan sekarang keanehan di rumahnya sendiri. Orang-orang berlarian ketakutan tanpa sebab.

Diantara semuanya, hanya istrinya yang tidak ketakutan. Tapi dia menangis.
“ Pak…kami sudah ikhlas…kembalilah Pak !”

“ Kembali ? kembali kemana ? aku memang mau kembali Mbokne* !” kata Pak Atmo.

Beberapa orang laki-laki mendekatinya dengan ragu-ragu.

“ Iki ana apa* ?” tanya Pak Atmo. Ia mulai merasa kesal karena ia merasakan badannya yang sangat lelah, tapi menemukan keanehan di rumah yang tak ia mengerti.
—————–
Seluruh tulang belulangnya terasa lunglai, mendengar penjelasan Kepala Dusun dan Pak Kyai. Malam ini adalah malam empat puluh hari meninggalnya dirinya ? bagaimana mungkin, ia baru pergi ke sawah tadi pagi dan siangnya ia tertidur dibawah pohon pisang, kenapa begitu sampai dirumah mereka mengatakan kalau ia sudah meninggal dan ini malam ke empat puluhnya sejak ia meninggal ?

“ Kula pun mati* ?” tanya Pak Atmo tak percaya.

Mereka mengangguk, raut wajah mereka masih tampak ketakutan. Pak Kadus bercerita kalau empat puluh hari yang lalu sampai habis maghrib Pak Atmo belum juga pulang dari sawah, dan mereka menemukannya dibawah pohon pisang di sawahnya. Mereka mengira dirinya tidur, tapi ternyata dia meninggal.

“ Tapi saya belum mati…” kata Pak Atmo lirih. Ia merasa sangat sedih, bagaimana mungkin ini terjadi. Baru tadi pagi, tapi mereka katakan sebagai empat puluh hari yang lalu.

Pak Atmo bercerita tentang apa yang dialami sejak pagi tadi, hingga siang saat ia tiba-tiba mengantuk dan tertidur dibawah pohon pisang, tentang seseorang dengan pakaian serba putih yang tiba-tiba datang dalam tidurnya dan mengajaknya pergi hingga ke depan sebuah pintu gerbang besar dengan dua penjaga yang tinggi besar, tentang jalan setapak, hamparan air dan semuanya…semuanya tanpa kecuali. Hingga saat ia terbangun lagi dan mendapati hari telah mulai gelap.

“ Mereka menyuruh Njenengan* pulang ?” tanya Pak Kyai.

“ Ya, mereka mengatakan saya belum boleh masuk, dan orang yang mengajak saya tadi mengantarkan saya kembali…”

Pak Kyai mengangguk-angguk. Ia mempercayai cerita petani tua itu. Sebuah kejadian yang sulit diterima akal sehat, tapi itulah yang terjadi. Pak Atmo merasa hanya bermimpi dan bangun lagi dari tidurnya. Ia tak tahu kalau ia sudah ditemukan meninggal di sawahnya, empat puluh hari yang lalu.

Meskipun sulit, akhirnya Pak Kyai bisa memberi penjelasan pada semua orang tentang kenyataan ini. Mereka memang menemukan jasad Pak Atmo yang meninggal empat puluh hari lalu di sawahnya, dan itu nyata. Tapi bahwa malam ini Pak Atmo kembali dalam keadaan sehat wal afiat, itupun nyata.

Pak Kyai serta merta memeluk Pak Atmo yang masih kotor dan masih keheranan.

“ Mungkin Pak Atmo merasa mimpi, tapi sesungguhnya Pak Atmo telah di bawa Tuhan untuk melihat rahasia yang dimilikinya…Tuhan tak menunjukkan itu kecuali pada orang yang di kehendakiNya ! bersyukurlah…” kata Pak Kyai. Petani tua itu ingin sekali berkata-kata, agar semua orang mengerti dan tidak takut lagi padanya, tapi mulutnya sulit untuk mengucap apa yang ada dalam benaknya, tentang semua itu. Tentang semua dalam seharian tadi, yang bagi mereka adalah empat puluh hari.

“ Maafkan saya, Bapak harus pulang dulu ! mungkin jika sudah tiba waktunya saya akan kembali lagi !”

“ Saya tidak mengerti…”
“ Bapak akan mengerti nanti !”
“ Saya tidak tahu tempat apa itu tadi…”
“ Bersyukurlah Pak, Bapak masih diberi waktu untuk mencari lebih banyak lagi, untuk memilih tempat ! tadi Bapak sudah melihat semuanya, tentu Bapak tahu, tempat mana yang Bapak inginkan…”

Kata-kata dari orang dengan pakaian serba putih itu masih terus terngiang di telinganya. Apa arti semua ini, Pak Atmo masih tetap belum mengerti. Seperti halnya mereka yang juga masih belum bisa mengerti, orang yang sudah mereka kuburkan malam ini kembali lagi…
Magelang, Juli 2012
Lalahan : hasil kerja, seberapa luas (banyak) yang sudah dikerjakan
Nglilir : bangun, mulai tumbuh dengan baik
Dangir : membalikkan tanah (dengan cangkul) disekitar tanaman untuk mematikan rumput dan
melonggarkan tanah agar akar tanaman leluasa tumbuh berkembang
Slepen : dompet bekas tempat emas (biasanya dari toko emas) yang dipakai untuk menyimpan tembakau
berikut bumbu-bumbu rokok tradisional (orang-orang tua desa jaman dulu)
Cengkeh : cengkeh (rajangan) bumbu rokok
Klembak : akar tanaman klembak yang di iris tipis-tipis dan dijemur untuk bumbu rokok
Kemenyan : kemenyan, untuk bumbu rokok
Cuilan : secuil, sebongkah kecil
Kiwan : tempat untuk MCK di belakang rumah/ bentuknya sederhana
Rasan-rasan : membicarakan, berencana, merencanakan
Lha kok malahpadha wedi kiana apa ? Lha kok malah pada takut ini ada apa ?Mbokne : Bu, atau Ibu
Kula pun mati ? : Saya sudah meninggal ?
Njenengan : Anda

Like This..?? Share This Article........... 

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

 
Copyright © 2011. Forzant Blog . All Rights Reserved.
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template modify by Creating Website. Inspired from Maskolis