Seperti biasa, hari sabtu-minggu adalah hari santai sedunia buat saya. Penerapan 5 hari kerja membuat saya punya banyak waktu untuk menghabiskan waktu bersama keluarga selain untuk beristirahat. Terkadang, hari sabtu-minggu juga digunakan untuk pengembangan diri — belajar dan menulis di Kompasiana. Justru saya lebih produktif menulis di hari sabtu-minggu.
Sabtu ini (4/5) saya sedang santai browsing di Kompasiana, membaca komentar yang membahas tentang istilah Cheerleader yang saya sematkan untuk tim penggembira di Kompasiana (baca: Kompasiana Tidak Butuh Tim Cheerleaders). Tiba-tiba di luar terdengar suara baling-baling helikopter menderu-deru. Tidak hanya satu, tetapi sekaligus. Mereka terbang rendah dan membentuk formasi garis lurus. Cukup rendah untuk bisa melihat bentuknya yang mirip helikopter Apache namun tidak dilengkapi dengan roket yang biasa disematkan di kiri dan kanan sayap kecilnya.
Tiba-tiba saya teringat masa kecil dahulu saat tinggal di sebuah desa pesisir pantai dekat Jembatan Suramadu saat ini. Saat itu listrik belum menyala di desa saya. Hiburan yang ada dengan main di kebun berburu musang dan burung, mancing ikan dan kepiting di sungai, mandi dan berenang di sungai dan di pantai. Andai harus keluar main pada malam hari, itupun karena di luar sedang terang bulan yang membuat kami bermain bersama. Sementara para orang tua berbicang santai di teras rumah.
Kala itu, alat transportasi yang saya kenal baik, hanya dokar, perahu layar, mobil Mitsubishi Colt sebagai angkutan umum dan kapal tongkang kalau akan menyeberangi Selat Madura menuju ke Surabaya. Itupun harus ditempuh dengan perjalanan darat selama 20 menit menuju pelabuhan dengan angkutan umum.
Sedangkan alat transportasi kereta api, bagi saya saat itu seperti sebuah benda ajaib yang besar. Tak heran jika saat bercanda dengan teman-teman sekolah dasar, kebanyakan dari kami ingin menjadi masinis kereta api. Imajinasi kami menggambarkan, betapa gagahnya seorang masinis kereta api, yang mengendalikan kereta besi yang besar dan panjang.
Namun alat trasnsportasi yang benar-benar kami kagumi kala itu adalah pesawat terbang. Bagaimana sebuah benda yang terbuat dari besi, bisa terbang di udara untuk mengangkut penumpang. Tak heran saat ada pesawat terbang menderu di udara desa kami, anak-anak kecil seperti saya langsung menengadahkan ke langit dan berteriak-teriak “tor molok, mentah pessennah” berulang-ulang. Tor molok adalah istilah untuk pesawat terbang dalam bahasa Madura, yang berasal dari kata montor (motor/mobil) dan molok (terbang). kata ‘mentah pessennah’, artinya mintah uangnya. Kadang-kadang meneriakkan kalimat tersebut sambil berlarian mengikuti arah pesawat. Beruntung saya tidak mengalami peristiwa sepertid alam film ‘God must be crazy’ saat sebuah botol minuman jatuh dari langit (pesawat) dan dianggap sebagai benda ajaib.
Saya tidak tahu, apakah Anda juga saat kecil, melakukan hal yang sama saat melihat pesawat terang melintas di langit. Jika benar, maka saya dan Anda sama-sama orang desanya. Hahaha… jangan pungkiri keudikan kita. Menjadi orang desa atau udik bukan aib, tetapi menjadi sebuah cerita tersendiri.
Kedua anak saya tidak pernah mengalami yang saya alami. Mereka tidak pernah heran dan berteriak-teriak saat melihat kereta api dan pesawat terbang. Pasalnya, rumah saya dekat dengan Bandara Juanda. Kereta api dan kommuter setiap waktu melintas memaksa kami untuk berhenti di perlintasan kereta api. Sedangkan pesawat terbang, setiap hari terbang di atas kepala kami. Sering kali juga mereka mengantar saya atau pamannya ke Bandara Juanda dan melihat pesawat naik turun di bandara.
‘Kasihan’, anak-anak jaman sekarang tidak menemukan kegembiraan saat melihat kerta api dan pesawat terbang seperti jaman saya dahulu. Entah apa yang membuat mereka heran saat ini sehingga berteriak-teriak ala ‘anak desa’ seperti jaman saya dahulu.
Like This..?? Share This Article.......
0 komentar:
Posting Komentar