DIBANDING genre film lain, horor terbilang paling sering dibuat sineas kita.
Pasti ada alasannya kenapa demikian. Yang utama, tentu karena film horor selalu tak sepi ditonton. Orang Indonesia rupanya paling senang ditakut-takuti di keremangan bioskop.
Mengapa demikian? Jika ada ungkapan film mencerminkan bangsa, demikianlah film horor kita. Sejatinya, genre film horor Indonesia tidak identik dengan genre horor Hollywood. Film horor Indonesia lebih lazim identik dengan film klenik. Ditulis Karl G.Heider dalam tinjauan antropologisnya atas film Indonesia di buku Indonesian Cinema: National Culture on Screen (1991), “Walau ber-setting modern, kisahnya tetap meminjam legenda dari cerita rakyat tradisional yang dipercaya masyarakat Indonesia, terutama cerita-cerita supranatural. “ Artinya, simpul profesor antropologi Universitas Harvard itu, film horor Indonesia tak sepenuhnya imitasi horor Hollywood. Ada sesuatu yang khas di dalam ekspresi film horor Indonesia.
Meminjam tesis teoritisi film Siegfrued Kracauer yang mengatakan mentalitas orang Jerman bisa dibaca dari film-film Jerman, Heider percaya demikian pula mentalitas orang Indonesia. Kecenderungan klenik orang Indonesia bisa dilihat dari film-film horor/misteri kita.
Majalah Tempo (edisi 23 Februari 2003) menulis laporan praktek klenik kalangan perfilman bukan rahasia lagi. Sineas lazim melakukan ritual tertentu sebelum memproduksi film horor. Mereka yang menggarap tema Nyi Roro Kidul, misalnya, merasa wajib sowan ke kamar 308 di Samudra Beach Hotel, Pelabuhan Ratu.
Lantas, apa film horor pertama yang pernah dihasilkan sineas negeri sendiri?
Jawabnya, tergantung Anda mau ikut yang mana.
Perlu diketahui, film horror hampir sama tuanya dengan film itu sendiri. Hanya satu tahun dari demontrasi proyektor pada tahun 1895 oleh Robert Paul di London, Lumiere bersaudara di Paris, dan Thomas Alva Edison di Atlanta, Georges Méliès membangkitkan hantu-hantu dari kubur dan merekamnya dalam Le Manoir du Diable (1896). Dicatat Nuruddin Asyhadie (majalah film F, Februari-Maret 2006), semenjak itu orang dapat melihat hantu-hantu tanpa memerlukan kekuatan gaib.
Menengok buku Katalog Film Indonesia yang ditulis JB Kristanto (di rak buku saya edisi 2007), ada keterangan di bawah sinopsis film Lisa (1971): disebut-sebut sebagai film horor pertama. Lisa berkisah tentang ibu tiri (Rahayu Effendi) yang ingin membunuh putri suaminya yang sudah meninggal demi mendapatkan harta. Lisa (diperankan Lenny Marlina), sang putri itu, diselamatkan dokter baik hati. Sang ibu kemudian diteror bayangan Lisa hingga ketakutan begitu hebat. Bahkan, saat Lisa kembali ke rumah, saking takutnya sang ibu tiri terjun ke jurang.
Tapi benarkah Lisa film horor pertama?
Film yang disebut sebagai film Indonesia pertama adalah Loetoeng Kasaroeng, dibuat 1926, film bisu hitam-putih. Walau dibikin orang asing (sutradara: L. Heuveldorp, juru kamera: G. Krugers), ini film pertama yang menampilkan cerita asli Indonesia, sebuah legenda rakyat Jawa Barat. Kemudian, The Teng Chun, seorang Tionghoa peranakan, mengangkat cerita klasik Tionghoa ke layar lebar yakni Ouw Peh Tjoa (Doea Siloeman Oeler Poeti en Item), rilis 1934, yang dilanjutkan Ti Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet) tahun 1935 dan Anaknja Siloeman Oeler Poeti (1936).
Pada 1941, The Teng Chun membuat Tengkorak Hidoep yang mengisahkan petualangan ke pulau angker bernama pulau Mustika. Kita yang akrab dengan plot film horor pasca Jelangkung (2001)—itu lho, film yang ceritanya dimulai dengan perjalanan para tokohnya ke satu tempat (bisa hutan, rumah, atau pulau)—nyatanya plot macam begini sudah dibuat sejak awal 1940-an.
Laporan utama majalah film F (edisi Februari-Maret 2006) menyebut Tengkorak Hidoep sebagai film horor Indonesia pertama. Dari catatan Tempo, film ini terpengaruh petualangan eksotis ke rimba belantara ala film Tarzan dengan bintangnya yang populer saat itu: Johnny Weismuller. Kisah ekspedisi ke pulau Mustika ini akhirnya menemui suku liar yang tetuanya bisa menjelma jadi jerangkong. Konon, film ini tergolong laris di masanya.
Lisa tak bernasib baik seperti Tengkorak Hidoep. Film yang tergolong psychological horror ini tak laris. Pada tahun Lisa rilis, 1971, juga hadir Beranak Dalam Kubur yang menjual iblis yang bangkit dari kubur demi membalas dendam pada kakak yang membunuhnya untuk menguasai perkebunan milik keluarga, namun anehnya juga menakut-nakuti penduduk.
Beranak Dalam Kubur dikategorikan Nuruddin Asyhadie sebagai satanic/demonic horror alias film horor yang menjual arwah/setan gentayangan membalas dendam. Sub-genre horor ini kemudian paling mendominasi jagat perfilman kita. Yang fenomenal tentu kisah Sundel Bolong.
Berbagai hantu lokal lain kemudian paling sering mengisi layar bioskop. Di antara semua jenis hantu yang paling banyak muncul adalah pocong. Ada pocong begini dan begitu, termasuk minta kawin segala. Ada-ada saja.
Like This..?? Share This Article...........
0 komentar:
Posting Komentar