"Orang yang berbudaya tidak bisa memenuhi insting seks tanpa cinta." Bertrand Russell, filsuf Inggris.
Aktivitas seks punya banyak sisi. Ada sisi prokreasi, rekreasi, relasi, bahkan religi. Karena punya banyak dimensi, kegiatan seks juga bisa dinikmati dengan berbagai cara, tergantung dari sisi mana seks itu dipandang. Jika dipandang dari dua sisi sekaligus, rekreasi dan relasi, kegiatan seks tidak hanya bisa memberikan kenikmatan biologis, tapi juga kenikmatan psikis, bahkan spiritual.
---
Dalam sebuah guyonan, seks seperti slogan iklan sebuah merek sepatu olahraga, "Just do it!" Lakukan saja, tak usah banyak berteori. Tentang cara dan gayanya, ikuti saja slogan iklan sebuah produk deodoran, "Sentuhan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda." Urusan tentang kapan dan di mana dilakukan, seks juga bisa disamakan dengan slogan iklan sebuah produk minuman bersoda, "Kapan saja, di mana saja."
Menurut guyonan-guyonan di atas, seks akan membimbing pelakunya menjadi lebih kreatif dalam semua hal, termasuk dalam gaya bercinta. Sekalipun urusan seks hanya berkisar pada alat kelamin, kita mengenal aneka macam gaya bercinta. Bukan hanya posisi "standar" pria di atas wanita, tapi juga aneka posisi "non-standar", misalnya woman on top (perempuan di atas), posisi miring, gaya monyet memanjat pohon kelapa, doggy style (penetrasi dari belakang), dan entah apa lagi.
Bahkan, variasi gaya bercinta zaman sekarang tidak berhenti pada sebatas kontak antara dua alat kelamin saja. Kini masyarakat juga mengenal seks oral bahkan anal. Semua itu membuktikan bahwa kegiatan seks memang bisa membuat pelakunya kreatif mengembangkan aneka gaya dan variasi posisi.
Bisa dikatakan, saat ini sebagian besar orang menerima aneka gaya bercinta di atas sebagai sebuah kewajaran. Asalkan dilakukan dengan istri atau suami sendiri, semua gaya sah-sah saja, tak perlu merasa bersalah jika melakukannya. Setidaknya fakta ini bisa kita lihat dari media massa. "Saya dan suami suka melakukan hubungan seks di tangga. Enak lo, ada sensasi gimanaaa gitu," kata seorang ibu tanpa malu-malu di sebuah koran online. "Kalau mau mencoba seks di dalam mobil, pakai doggy style aja," kata seorang anggota forum diskusi kepada anggota lain yang sedang minta saran.
Pendek kata, urusan gaya bercinta seks masyarakat zaman sekarang sudah mencapai "puncak kreativitas" yang bagi sebagian orang mungkin masih dianggap tabu. Ini juga sisi lain dari pandangan masyarakat terhadap seks. Namun, tidak semua orang bisa menerima aneka gaya di atas ranjang itu sebagai sebuah kewajaran, sekalipun dilakukan dengan istri atau suami sendiri. "Saya tidak bisa membayangkan melakukan hubungan seks dengan menyuruh istri saya nungging seperti di film-film porno," kata Ari, seorang suami yang tak malu mengaku konservatif dalam urusan seks.
Kebetulan istrinya juga punya pandangan yang sama dalam hal seks. Sama-sama konservatif. Karena berpandangan konservatif, ia menganggap aneka posisi yang ditampilkan di film-film porno itu sebagai sebagai gaya yang "terlalu neko-neko". Ia merasa cukup hanya dengan gaya standar, laki-laki di atas perempuan. "Gitu aja sudah enaknya bukan main, kok neko-neko," katanya sembari tersenyum. Kalaupun melakukan variasi, hanya terbatas pada gaya tukar posisi: perempuan di atas laki-laki. Itu saja. Itu pun tidak sering dilakukan, hanya kalau merasa cara itu lebih nyaman.
Nikmat lahir batin
Ia tidak menolak anggapan seks sebagai bentuk mencari kepuasan biologis. "Saya juga mencari kenikmatan dari hubungan seks. Hanya saja, kenikmatan seks bagi saya itu bukan semata-mata kenikmatan biologis, tapi juga kenikmatan ... apa ya namanya?" katanya, malah bertanya. "Pokoknya, kenikmatan lahir batinlah," tiba-tiba saja ia melanjutkan tanpa menunggu jawaban.
Menurut dia, sah-sah saja suami istri melakukan aneka hubungan seks dengan berbagai gaya. "Mau berdiri, nungging, jumpalitan, terserah," ujarnya enteng. Meski begitu, ia menganggap hubungan seks yang dilakukan semata-mata karena nafsu biologis biasanya kurang memberi tempat bagi pemenuhan kebutuhan psikis.
Menurut dia, kebiasaan berhubungan seks yang semata-mata karena nafsu biologis akan menyebabkan hubungan suami istri menjadi mudah renggang ketika salah satu dari pasangan tidak lagi menarik secara seksual. Hal ini, kata dia, terutama harus diwaspadai oleh pihak laki-laki. "Laki-laki itu 'kan hot terus, bergairah terus, sementara perempuan itu makin tua makin berkurang daya tarik seksualnya," katanya berteori.
Pada saat fisik perempuan tidak lagi menggairahkan secara seksual, hubungan badan akan hambar karena laki-laki sudah terbiasa semata-mata memanjakan nafsu biologisnya. "Padahal ikatan suami istri itu 'kan ikatan seumur hidup. Kita harus bersedia menerima bagaimanapun kondisi pasangan sampai tua," lanjutnya.
Itu sebab, menurutnya, suami istri lebih baik membiasakan diri menikmati seks bukan semata-mata sebagai urusan biologis, tapi juga melibatkan hubungan emosional. "Saya termasuk orang yang percaya hubungan seks semacam ini bisa dilakukan. Saya kira pleasure lahir batin itu kualitasnya setingkat lebih tinggi daripada pleasure lahir saja," katanya.
Agar kepuasan lahir batin itu diperoleh, Ari memperlakukan kegiatan seks sebagai gabungan antara nafsu biologis dan bentuk kasih sayang. Jika sedang berhasrat, ia akan mengajak istrinya dengan cara seperti seseorang yang sedang minta izin. Ia berusaha memahami kalau saat itu istrinya sedang tidak mood untuk berhubungan badan. Ia tidak sependapat dengan pandangan bahwa istri harus selalu menuruti apa saja kemauan suaminya di atas ranjang, sekalipun ia tidak suka. "Kalau laki-laki memaksa, itu 'kan namanya bukan kasih sayang," katanya.
Ia sudah mulai menerapkan cara pandang ini sejak awal menikah. Pada saat malam pertama, ia mengaku tidak langsung melakukan hubungan badan karena ia tahu istrinya belum siap.
"Malam-malam pertama, kami tidur dengan ‘pakaiain sipil’ lengkap," katanya berseloroh. Ia bersedia menahan diri sekalipun pada saat itu ia mengaku nafsunya sudah sampai di ubun-ubun. Yang mereka lakukan pertama-tama adalah ngobrol dulu, menyamakan persepsi tentang seks. "Setelah kami sama-sama menyamakan ‘gelombang’, barulah kami ...," katanya sambil menganggukkan kepala tanpa melanjutkan kalimatnya yang belum selesai.
Tiap kali melakukan hubungan seks, mereka tidak pernah lupa membaca doa lebih dulu.
"Kalau mau makan, saya biasanya lupa mbaca doa. Tapi kalau untuk urusan yang satu ini, saya tidak pernah lupa berdoa," katanya sembari terkekeh-kekeh. Cara seperti itu menurutnya bisa membuat mereka berdua menikmati hubungan seks sebagai bentuk kasih sayang.
"Di dalam ajaran agama, hubungan seks suami istri itu 'kan termasuk ibadah," lanjutnya. Bagi dia, seks tidak bisa dipisahkan antara urusan rekreasi, relasi, bahkan religi. Dua aspek terakhir, relasi dan religi, menurutnya, hampir tidak mungkin diikutsertakan kalau hubungan seks dilakukan dengan gaya yang neka-neka. "Saya tidak menganggap itu buruk. Ini hanya perkara selera," ucapnya.
Karena cara pandangnya ini, cara mereka mengukur kepuasan seksual pun berbeda dengan cara kebanyakan orang. "Saya tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Tapi saya kira banyak kok perempuan yang menikmati hubungan seks dalam bentuk disayang-sayang, dibelai, dipeluk, dicium, tidak harus dibuat orgasme," katanya. Karena pandangan seperti ini, mereka berdua tidak mempermasalahkan ejakulasi dini, misalnya. "Kalau cuma urusan nyium, mbelai, sama meluk 'kan tidak harus dalam keadaan ereksi, ha ha ha .... Yang penting 'kan sama-sama senang. Gitu aja kok repot," katanya sambil ketawa.
Revolusi seks
Bagi sebagian orang, pandangan Ari di atas mungkin dianggap terlalu kolot. Terlalu puritan. Apa pun sebutannya, yang jelas Ari tidak seorang diri. Masih banyak orang yang memandang urusan seks secara konservatif — jika istilah ini tepat. Golongan ini terutama diwakili oleh mereka yang masih berusaha berpegang pada nilai-nilai tradisional, terutama agama.
Bahkan, menurut dr. Andik Wijaya, M.Rep.Med., ahli kedokteran reproduksi dari Yada Institute dan Draw Clinic, Surabaya, pandangan konservatif semacam ini merupakan pilihan baik dalam kaitannya dengan kehidupan berumah tangga. Ia menyebut pandangan ini dengan istilah "perilaku seks yang sesuai dalam desain awalnya". Desain awal? Seks punya desain awal? Andik menjawab tegas, "Punya!"
Dalam konteks hubungan pria-wanita, desain awal seks adalah ikatan dua orang dalam institusi perkawinan heteroseks monogami. Dalam konteks gaya bercinta, desain awal seks adalah kontak dua alat kelamin laki-laki dan perempuan dalam posisi face-to-face. Itu tak lain karena secara anatomis, posisi alat kelamin manusia berbeda dengan hewan mamalia lainnya. Pada hewan, alat kelamin mereka sedemikian rupa sehingga kalau melakukan kontak seksual, pejantan harus melakukan penetrasi dari belakang. Bukan face-to-face.
Ini berbeda dengan manusia. Alat kelaminnya terletak di bagian depan tubuh. Sehingga, kalau melakukan hubungan seksual, posisi yang paling sesuai secara anatomis adalah berhadap-hadapan. Perkara sekarang masyarakat mengenal aneka macam gaya bercinta, kata Andik, itu disebabkan oleh pengaruh film-film porno. "Dalam sejarahnya, perilaku seksual manusia seperti ini tidak terjadi begitu saja. Semua bermula dari revolusi seks yang terjadi tahun 1948," katanya.
Menurutnya, sebelum peristiwa revolusi seks ini, aneka gaya bercinta yang bukan face-to-face belum membudaya di masyarakat. Revolusi seks ini awalnya terjadi di Amerika Serikat (AS) lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia. Pemicunya adalah buku Sexual Behavior in the Human Male tulisan Alfred Kinsey, seorang biolog dan seksolog asal Indiana University, AS.
Lewat buku itu, Kinsey menawarkan pandangan baru tentang seks. Pandangan ini berseberangan dengan pandangan konservatif masyarakat waktu itu yang masih menabukan banyak aktivitas seks. "The only unnatural sex act is that which you can not perform," kata Kinsey. Satu-satunya aktivitas seksual yang tidak alami adalah aktivitas yang tidak bisa dilakukan manusia. Artinya, kalau manusia bisa melakukannya, berarti itu masih terhitung wajar dan natural. Batas yang dipakai oleh Kinsey bukan norma-norma yang dipegang masyarakat pada masa itu. Tak ada batas tabu. Yang ia kenal hanya batas natural dan tidak natural.
Ini kemudian memicu perilaku seksual permisif di masyarakat. Karena batasannya hanya perkara bisa dan tidak bisa dilakukan, maka semua jenis aktivitas yang semula tabu menjadi tidak lagi. Bukan hanya perkara gaya bercinta, tapi juga termasuk hubungan seks di luar institusi pernikahan dan bahkan hubungan seks sejenis. Sepanjang bisa dilakukan, itu masih terhitung natural.
Revolusi seks yang dipicu oleh buku ini lalu semakin mendapat dukungan ketika Hugh Hefner menerbitkan majalah Playboy tahun 1953. Sejak itulah mulai marak film-film yang mengeksploitasi seks. Inilah yang menjadi cikal-bakal perilaku seksual permisif, termasuk budaya gaya bercinta yang — kata Andik — tidak sesuai dengan desain awal seks.
Menurut Andik, posisi standar berhadap-hadapan merupakan posisi hubungan seksual yang terbukti paling efektif menumbuhkan ikatan emosional antara suami-istri. Posisi ini memungkinkan pasangan saling mencium, memandang, dan memeluk dalam kontak fisik yang paling dekat. Dalam poisisi itu, kegiatan seks bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan dimensi relasi, selain rekreasi tentunya.
Menurut Andik, dimensi relasi dan rekreasi ini adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Dalam pandangannya, semua pembicaraan tentang seks tidak bisa dilepaskan dari dimensi relasi dalam institusi pernikahan. Aktivitas seks adalah bentuk penyatuan dua diri. Bukan hanya bersetubuh (menyatukan dua tubuh), tapi juga menyatukan dua emosi. Inilah yang membuat manusia unik di antara mamalia lain.
Andik menjamin, asalkan masing-masing pasangan menanamkan pola pikir tentang desain awal seks ini, keduanya tidak perlu takut jenuh dengan gaya hubungan seks yang monoton. Sebab, kegiatan seks yang demikian akan selalu disertai cinta dan kasih sayang. Gairah seksual mungkin bisa hilang seiring dengan bertambahnya usia pasangan, tapi cinta tidak mengenal kata monoton.
Walhasil, bagi mereka yang memandang seks sesuai dengan desain awalnya seperti Ari dan Andik, hubungan badan ibarat slogan iklan rokok: "Yang penting rasanya, Bung! Bukan gayanya".