Pernahkan Anda memiliki teman atau anggota keluarga yang sering batuk-batuk dan mengeluh sesak, terutama ketika sedang letih ataupun ketika cuaca dingin? Mungkin saja mereka adalah seorang penderita asma. Asma merupakan sebuah penyakit pada saluran pernapasan yang memiliki karakteristik berupa sesak napas terutama di malam hari, seringkali disertai batuk dan bunyi mengi. Penyebab timbulnya asma berasal dari pengaruh genetik dan juga lingkungan.
Asma merupakan sebuah permasalahan global, dengan kurang lebih 300 juta orang di seluruh dunia yang terkena. Prevalensi asma di negara yang berbeda-beda berkisar antara 1% hingga 18% populasinya.
FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor yang mempengaruhi resiko asma dapat dibagi menjadi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya asma dan faktor-faktor yang memicu serangan asma, ataupun faktor-faktor yang melakukan keduanya. Mekanisme terjadinya asma sendiri merupakan suatu proses yang kompleks dan saling berinteraksi.
1. Faktor host
Faktor genetik
Terdapat beberapa gen yang terlibat dalam munculnya asma, dan gen-gen tersebut mungkin berbeda-beda pula pada setiap grup etnik. Gen-gen tersebut memiliki pengaruh tidak hanya kepada timbulnya penyakit asma, namun juga terhadap respon pada pengobatan yang diberikan. Karena itu tingkat keparahan penyakit maupun respon setiap penderita asma terhadap terapi yang diberikan akan berbeda-beda.
Obesitas
Dari penelitian didapatkan bahwa obesitas juga berpengaruh terhadap asma. Terdapat mediator-mediator tertentu di dalam sel lemak, misalnya leptin, yang mempengaruhi fungsi saluran pernapasan dan meningkatkan kecenderungan timbulnya asma.
Jenis kelamin
Pada usia di bawah 14 tahun, asma lebih banyak terdapat pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan perbandingan nyaris 2 : 1. Seiring dengan pertambahan usia maka perbandingan tersebut akan semakin berkurang dan pada usia dewasa asma lebih banyak terdapat pada wanita. Alasan terjadinya situasi ini masih belum jelas, namun diketahui bahwa ukuran paru-paru pada pria saat lahir lebih kecil dibandingkan paru-paru wanita, dan sebaliknya pada orang dewasa.
2. Faktor lingkungan
Alergen
- Indoor : kutu, bulu binatang, kecoa, jamur
– Outdoor : serbuk bunga, jamur
Alergen merupakan zat-zat yang memicu alergi. Dalam kasus asma, alergen dapat memicu serangan. Hubungan antara alergen dan timbulnya serangan ataupun beratnya serangan bergantung pada jenis alergen itu sendiri, jumlah, lamanya terjadi paparan, usia penderita dan genetik.
Dari penelitian didapatkan bahwa kecoa merupakan alergen penting yang memicu terjadinya asma, terutama di kawasan perkotaan. Sedangkan untuk bulu binatang peliharaan, beberapa penelitian mengatakan bahwa paparan awal terhadapnya ketika usia kanak-kanak dapat memproteksi dari timbulnya sensitisasi terhadap bulu binatang. Namun ada pula penelitian yang mengatakan bahwa perlakuan demikian hanya akan meningkatkan resiko sensitisasi. Masalah ini masih belum dapat dipecahkan hingga saat ini.
Infeksi
Paparan terhadap beberapa virus saat masih bayi dapat menimbulkan kecenderungan untuk mengalami asma di kemudian hari. Namun dari beberapa penelitian juga ditemukan bahwa terkena infeksi saluran pernapasan ketika masih bayi dapat menimbulkan proteksi terhadap munculnya asma.
Terdapat sebuah teori bernama “Hipotesis Higienis” yang menunjukkan bahwa paparan terhadap infeksi di masa-masa awal kehidupan dapat mempengaruhi sistem imun tubuh sedemikian rupa sehingga mengurangi resiko asma dan penyakit alergi lainnya.
Sensitisasi akibat pekerjaan
Sebanyak 300 lebih jenis substansi yang dhubungkan dengan asma yang timbul akibat pekerjaan, yaitu asma yang disebabkan oleh paparan terhadap substansi yang terdapat di lingkungan kerja. Salah satu contoh dari substansi-substansi yang demikian adalah isocyanates, yaitu sebuah zat iritan yang dapat mengganggu respon dari saluran napas. Selain itu juga terdapat garam platinum dan produk-produk dari tanaman dan hewan yang merangsang timbulnya alergi pada tubuh manusia.
Pekerjaan yang memiliki resiko akan timbulnya jenis asma ini yaitu pekerjaan bertani maupun yang berhubungan dengan agrikultural, melukis maupun mengecat, pekerjaan yang bersifat membersihkan, dan produksi plastik. Timbulnya asma akibat pekerjaan membutuhkan waktu bulanan maupun tahunan setelah terkena paparan.
Jenis asma ini dapat timbul walaupun pada orang-orang yang tidak memiliki kecenderungan alergi. Metode paling baik untuk mencegah timbulnya asma akibat pekerjaan yaitu dengan mengurangi paparan terhadap substansi-substansi pemicu asma tersebut.
Perokok (aktif dan pasif)
Merokok dapat mempercepat penurunan fungsi paru pada orang dengan asma, meningkatkan beratnya asma, dan dapat menurunkan respon obat serta menurunkan kecenderungan asma untuk dapat terkontrol.
Paparan terhadap rokok sebelum kehamilan dan setelah lahir berhubungan dengan resiko yang lebih besar terhadap gejala asma pada awal masa anak–anak. Pada ibu yang merokok saat kehamilan diketahui dapat mempengaruhi perkembangan paru anak dan meningkatkan resiko penyakit asma 4 kali lipat. Paparan terhadap rokok (perokok pasif) pada bayi dan anak – anak juga meningkatkan resiko penyakit salurah nafas bawah.
Diet
Hubungan diet dengan asma terutama terletak pada konsumsi ASI. Pada bayi yang mengkonsumsi susu formula atau protein kedelai memiliki insidensi yang lebih tinggi terhadap penyakit mengi pada masa awal anak – anak dibandingkan dengan bayi yang disusui dengan ASI.
Beberapa data juga mengindikasikan karakterisik diet barat seperti meningkatnya konsumsi makanan yang diproses dan menurunnya antioksidan (buah – buahan dan sayuran), meningkatnya asam lemak tidak jenuh (margarine dan minyak sayur), dan menurunnya asam lemak tidak jenuh (minyak ikan) berkontribusi terhadap peningkatan penyakit asma dan atopi lainnya.
DIAGNOSIS
Gejala-gejala asma yaitu:
- Sesak napas episodik / berkala
- Mengi (bunyi “ngik” ketika membuang napas)
- Batuk
- Dada terasa sempit (chest tightness)
Gejala-gejala tersebut biasanya timbul setelah terkena paparan alergen, sehabis olahraga atau dalam keadaan letih, ataupun pada perubahan musim, selain itu juga memburuk pada malam hari dan berespon terhadap terapi asma. Selain itu adanya penyakit asma biasanya berkaitan erat dengan penyakit alergi/atopi sehingga adanya riwayat asma atau alergi pada keluarga juga dapat membantu menegakkan diagnosis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis asma biasanya berdasarkan adanya gejala yang khas. Namun, terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis. Hal ini karena pasien asma seringkali kurang mengenali gejala–gejala yang terjadi dan memiliki persepsi yang kurang terhadap berat ringannya gejala, terutama pada asma yang lama terjadi.
Pengukuran Fungsi Paru
Pengukuran fungsi paru dapat memberikan gambaran mengenai berat-ringannya keterbatasan aliran udara, reversibilitas, variabilitas, konfirmasi diagnosis, juga membantu dalam kontrol keberhasilan terapi.
Pengukuran dilakukan dengan alat bernama spirometri, yang dapat mengukur:
- FEV1 (forced expiratory volume dalam 1 detik)
- FVC (forced vital capacity)
- PEF (peak expiratory volume).
Pada penilaian dengan spirometri pasien diminta untuk melakukan forced expiratory maneuver, dan hasil yang diambil adalah hasil tertinggi dari 3 kali penilaian. Nilai spirometri berbeda pada etnis yang berbeda sehingga diperlukan pengukuran rasio FEV1 dan FVC. Nilai normal rasio FEV1/FVC adalah lebih dari 0,75 – 0,80 pada dewasa dan > 0,90 pada anak – anak. Nilai yang lebih rendah mengindikasikan adanya keterbatasan aliran udara.
Selain spirometri, terdapat pula alat bernama peak flow meter yang dapat mengukur peak expiratory flow (PEF). peningkatan 60L/menit (> 20% prebronkhodilator PEF) setelah inhalasi bronchodilator ataupun variasi diurnal PEF > 20% (dengan 2 kali pembacaan dalam 1 hari, > 10%) dapat menegakkan diagnosis asma.
Pengukuran Responsivitas Jalan Nafas
Untuk pasien dengan gejala yang konsisten dengan asma namun dengan fungsi paru normal, perlu dilakukan pengukuran responsivitas jalan nafas. Pengukuran ini menunjukkan sensitivitas jalan nafas terhadap faktor yang dapat menyebabkan gejala asma. Namun hasil tes ini juga seringkali positif pada penyakit pernapasan lain, misalnya pada rhinitis alergi.
Penilaian Status Alergi
Adanya hubungan yang kuat antara asma dan rhinitis alergi, makanya adanya penyakit alergi dan rhinitis alergi meningkatkan probabilitas diagnosis asma pada pasien dengan gejala respiratori. Adanya alergi pada pasien asma (tes kulit dengan allergen atau IgE serum) dapat membantu identifikasi faktor resiko yang mengakibatkan gejala asma.
KLASIFIKASI ASMA
Terdapat dua jenis klasifikasi asma.
• Klasifikasi berdasarkan berat ringannya gejala, keterbatasan aliran udara, dan variabilitas fungsi paru. Klasifikasi ini berguna untuk penatalaksanaan saat penilaian pasien.
• Klasifikasi berdasarkan terkontrol tidaknya kondisi asma seseorang.
PENGOBATAN
Penyakit asma dapat dikontrol dengan menggunakan obat-obatan. Jenis, jumlah serta dosis dari obat-obatan asma bergantung pada jenis serangan asma dan respon penderita terhadap pengobatan sebelumnya. Dalam serangan yang sangat berat mungkin diperlukan pengobatan lain selain obat yang diminum. Dapat dilakukan nebulisasi atau di-uap dengan obat-obatan untuk mengurangi radang pada saluran pernapasan. Nebulisasi terdapat di tempat-tempat pelayanan kesehatan, bahkan saat ini alatnya dapat dibeli sendiri untuk dipergunakan di rumah jika diperlukan.
Dalam pengobatan asma, penting untuk melakukan kontrol rutin ke dokter karena mungkin saja diperlukan penyesuaian untuk obat-obatan yang digunakan jika terdapat perubahan terdapat pola dan berat serangan asma. Ketika asma terkontrol dengan baik, maka frekuensi serangan menjadi rendah dan serangan yang berat jarang sekali terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar