Popular Post

Home » » Ketika Keperawanan Dipersoalkan (3)

Ketika Keperawanan Dipersoalkan (3)

Written By Bodhonk on Jumat, 01 Maret 2013 | 10.35



Ternyata, yang membuat perkawinan bermasalah bukan cuma keperawanan, melainkan juga kehilangan keperjakaan. Meskipun telah ditutup rapat, rasa bersalah tetap membayangi karena telah membohongi pasangan, dan terutama pertanggungjawaban pada Yang Di atas.
Bagai makan buah simalakama, kalau toh rahasia dibuka, akan rusaklah semuanya. "Lebih baik memang ditutup saja, lalu menyesali, takkan mengulangi, dan bertobat. Bertekadlah menjadi orang yang baru," saran psikolog Ieda Purnomo Sigit Sidi.
Sering terjadi, baik pada perempuan maupun lelaki, jika berterus terang malah jadi bubar, baik sebelum maupun sesudah pernikahan. Padahal, peristiwa itu sudah tak ada hubungannya sama sekali dengan mereka berdua saat ini.
Pernah, tambah Ieda, ada seorang gadis yang mengakui dirinya tak perawan lagi. Bagi sang calon suami, hal itu tak jadi masalah karena ia amat mencintai, ia bisa menerimanya, dan mereka pun menikah di Bandung. Sepanjang tujuh tahun pernikahan mereka, yang telah membuahkan dua orang putri, tak terjadi apa-apa, adem ayem, tak pernah terjadi pertengkaran sekecil apa pun.
Pernikahan seharmonis itu, ternyata neraka bagi sang istri. Setiap ada masalah ia pendam sendiri, tak ingin diungkap pada suami yang menurut dia sudah berbaik hati mau mengawininya. Bagaimana nasibnya yang sudah tak perawan lagi, mana ada lelaki yang sudi menerimanya, kecuali suaminya itu. Lama-kelamaan, karena selalu memendam perasaan, akhirnya sang istri tak tahan lagi, lalu minta cerai.
Si suami kaget, bingung, dan heran. Ia merasa perkawinannya baik-baik saja. "Si istri merasa tertekan, padahal yang menekan perasaannya sendiri, yang berkaitan dengan masa lalunya," simpul Ieda.
Pada kasus lain, seorang pria menemukan istrinya tidak berdarah di malam pertamanya. Karena penasaran istrinya tak kunjung membuka rahasia, pria tadi terus mencecar sang istri sepanjang lima tahun perkawinan. Jika benar si istri melakukan seks pranikah, mungkin ia tersiksa karena dipaksa mengingat kembali peristiwa yang dibencinya itu. Namun jika menjawab masih perawan, sang suami tentu tak percaya.
Bisa ditebak - kalau toh benar ada seks pranikah - sang suami akan mendesak diungkapkannya jati diri lelaki yang telah menidurinya. Sang suami lalu akan membenci atau mencari orang itu, lalu terjadi masalah baru. Si istri jadi ketakutan, ngomong salah, tak bicara pun keliru. "Pria harus konsekuen dengan keputusannya menikahi seorang wanita, yang tentunya sudah melalui berbagai pertimbangan pribadi," kata Ieda. Karena itu, meski ia menganjurkan pria atau wanita tetap harus terbuka, namun itu pun tergantung bagaimana karakter pasangannya. Salah-salah bisa senjata makan tuan.
Seperti dialami Rini, pasien Ieda yang nama aslinya disamarkan, sebelum menikah ia berterus terang pada calon suaminya bahwa dirinya tak gadis lagi. Alih-alih berempati padanya, esoknya kekasihnya itu menyebarluaskan berita itu ke siapa saja, bahwa Rini sudah tidak perawan lagi. Akhirnya, pernikahan batal dan Rini menanggung malu luar biasa, seumur hidupnya.
Nasib Aida, pasien Ieda lainnya, masih mending. Ia memang tetap dinikahi, tapi suaminya mengumumkan ke keluarganya bahwa Aida tidak perawan lagi sewaktu menikah dengannya. Akibatnya amat menyakitkan, harga diri Aida jatuh di depan keluarga besar suaminya sejak awal pernikahannya. Pandangan mata mereka seolah menganggap Aida sampah.


Like This..?? Share This Article..........

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

 
Copyright © 2011. Forzant Blog . All Rights Reserved.
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template modify by Creating Website. Inspired from Maskolis