Sebuah teori mengatakan bahwa asal mula karate berasal dari ilmu bela diri Okinawa. Te atau Okinawa-Te adalah seni bela diri asli setempat yang telah mengalami perkembangan berabad-abad lamanya, dan kemudian banyak dipengaruhi oleh teknik perkelahian yang dibawa oleh para ahli seni bela diri China yang mengungsi ke Okinawa. Sekitar Abad ke5, seorang pendeta Budha yang terkenal bernama Bodhidharma (Daruma Daishi) mengembara dari India ke China untuk menyebarkan dan membetulkan agama Budha yang menyimpang selama ini di Kerajaan Liang dibawah Kaisar Wu. Setelah perselisihannya dengan Kaisar Wu karena perbedaan pandangan dalam ajaran agama Budha, Bodhidharma mengasingkan diri di biara Shaolin Tsu di pegunungan Sung di bagian selatan Loyang Ibukota Kerajaan Wei. Di situ lah dia melanjutkan pengajarannya dalam agama Budha dan menjadi cikal-bakal Sekte Zen.
Para Rahib Budha China pada waktu itu begitu lemah badannya, sehingga mereka tidak dapat menjalankan pelajaran-pelajarannya dengan baik. Setelah dia tahu hal ini, dia memberikan Buku Kekuatan Fisik kepada murid-muridnya, suatu buku petunjuk mengenai latihan fisik. Buku ini mengajarkan teknik pukulan yang dinamakan 18 Arhat, yang kemudian menjadi terkenal sebagai Shaolin Chuan. Suatu pendapat lain mengatakan, bahwa cerita di atas tadi adalah dongeng semata-mata. Bagaimanapun juga Bodhidharma adalah anak laki-laki ke-3 (tiga) dari Raja India Selatan. Dan sebagai Pangeran, dia ahli ilmu perang yang menjadi salah satu pendidikannya, hal serupa dengan Sakyamuni. Lagi pula hanya orang dengan pikiran dan badan yang kuat yang dapat mengadakan perjalanan yang demikian jauh dan banyak rintangannya.
Seorang ahli ilmu bela diri lain yang sangat terkenal yang muncul pada jaman Dinasti Sung (920-1279 M) adalah Chang Sang Feng (Thio Sam Hong). Awalnya Chang belajar ilmu bela diri pada Shaolin Tsu , kemudian mengasingkan diri di gunung Wutang (Butong). Di tempat inilah dia mengamati macam-macam gerakan binatang, seperti kera, burung bangau, dan ular. Berdasarkan pengamatannya, dia menciptakan gaya perkelahian yang khas dengan pribadinya yang disebut aliran Wutang. Kalau Shaolin Chuan hanya dipraktekkan oleh para Pendeta Budha, maka aliran Wutang ini diperuntukkan orang awam yang tidak ada ikatan dengan aliran Kuil manapun. Chang mengaja rkan supaya menerima pukulan lawan dengan gaya lemah gemulai seperti air yang mengalir dan menyerang dengan satu kepastian untuk mengakhiri perlawanan dengan sekali pukul. Ciptannya didasari dengan gagasan tentang harus adanya gerak melingkar yang luwes dan gerakan ujung yang tajam. Aliran ini selanjutnya punya dampak yang luas di dalam perkembangan seni bela diri di China. Gaya aliran Wutang ini segera tersebar merata di seluruh Wilayah China bagian utara yang pada masa kemudian akan berkembang menjadi Taichi-Chuan, Hsingi-Chuan, dan Pakua-Chuan.
Masih terdapat banyak tokoh seni bela diri yang menciptakan gaya dan aliran masing-masing. Diantaranya Chueh Yuan yang juga pernah belajar di Shaolin Tsu. Pada tahun 1151-1368 M dia berhasil menciptakan aliran baru dengan cara memperluas 18 pukulan Arhat menjadi 72 jurus. Dia berkeliling ke banyak Wilayah China dan kemudian bertemu dengan Po Yu Feng yang menciptakan pukulan Wu Chuan. Keduanya mengadakan kerjasama menciptakan satu aliran baru yang mencapai 170 macam gaya ilmu pukulan, diantaranya Lima Tinju, Tinju Naga, Tinju Harimau, Tinju Bangau, Tinju Macan Tutul, dan Tinju Ular. Di seluruh Wilayah China yang begitu luas, berbagai macam gaya dan aliran bela diri dikembangkan, yang akhirnya menyesuaikan diri deng an sifat-sifat lingkungan di mana gaya dan aliran itu berkembang dan dipraktekkan. Namun pada umumnya, berbagai aliran dan gaya yang ada dapat dibagi menjadi dua aliran yaitu aliran UTARA dan aliran SELATAN.
Aliran Selatan berasal dari daerah China Selatan di bagian hilir sungai Yang Tse. Karena beriklim sedang, sumber kegiatan ekonomi yang paling utama di wilayah ini adalah pertanian khususnya beras. Rakyat setempat cenderung bertubuh gempal dan kuat karena kegiatan kerja di sawah. Disamping itu di wilayah selatan terdapat banyak sekali sungai, sehingga alat lalu lintas yang utama adalah perahu. Dengan mendayung sehari-hari menyebabkan badan bagian atas lebih berkembang. Maka dengan demikian aliran selatan ini menekankan pada gaya melentur dan penggunaan tangan dan kepala.
Aliran Utara berkembang di wilayah China Utara di bagian hulu Sungai Yang Tse, dimana sifat daerahnya adalah pegunungan. Mengingat di wilayah ini banyak orang terlibat dengan perburuan binatang dan penebangan kayu sebagai sumber nafkah. Maka aliran utara ini lebih menekankan pada gerakan yang lincah dan penggunaan teknik tendangan.
Selama masa peralihan dari Dinasti Ming ke Dinasti Ching, sejumlah ahli bela diri China melarikan diri ke negara lain untuk membebaskan diri dari penindasan dan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang Manchu yang menguasai China. Sebagai akibatnya ilmu bela diri China dari Jaman Ming ini disebarkan ke berbagai negara lain termasuk ke Jepang, Korea, Asia Tenggara, dan juga Kepulauan Okinawa. Salah seorang diantaranya Chen Yuan Pao yang menuju ke Jepang, dimana dia selanjutnya mengajarkan gagasan dan teknik Judo. Sampai pada abad ke-15 Kepulauan Okinawa terbagi menjadi 3 (tiga) Kerajaan. Dan pada tahun 1470 Youshi Sho dari golongan Sashikianji berhasil mempersatukan semua pulau di Kepulauan Okinawa di bawah kekuasaannya. Penguasa ke-2 dari golongan Sho, yaitu Shin Sho, menyita dan melarang penggunaan senjata tajam. Kemudian Keluarga Shimazu dari Pulau Kyushu berhasil menguasai Kepulauan Okinawa, tetapi larangan terhadap pemilikan senjata tajam masih terus diberlakukan. Sebagai akibatnya, rakyat hanya dapat mengandalkan pada kekuatan dan ketrampilan fisik mereka untuk membela diri.
Pada saat yang sama, ilmu bela diri dari China mulai diperkenalkan di Okinawa melalui para pengungsi yang berdatangan dari China yang saat itu sudah dikuasai oleh bangsa Manchu (Dinasti Ching). Diantara para pengungsi itu ada sejumlah ahli seni bela diri dari China. Pengaruh ilmu bela diri dari China ini dengan cepat sekali menjalar ke seluruh Kepulauan Okinawa. Melalui ketekunan dan kekerasan latihan, rakyat Okinawa berhasil mengembangkan sejenis gaya dan teknik berkelahi yang baru yang akhirnya melampaui sumber aslinya. Aliran-aliran seni bela diri Te (aslinya Tode atau Tote) di Okinawa terbagi menurut nama daerah perkembangannya menjadi Naha-te, Shuri-te, dan Tomari-te. Naha-te mirip dengan seni bela diri China aliran selatan, khususnya dalam pola gerakan yang dilaksanakan dengan gaya yang kokoh dan sangat tepat bagi orang yang bertubuh besar. Shuri-te mirip dengan seni bela diri China aliran utara yang pola gerakannya lebih menekankan kegesitan dan keringanan tubuh. Sementara kaum Shimazu makin memperketat larangan atas pemilikan senjata tajam, latihan pola bela diri Te ini makin berkembang.
Di Jepang sendiri juga telah ada pola bela diri sejak jaman dulu. Diantaranya yang sangat terkenal sampai saat ini ialah gulat Sumo. Dahulu Sumo sifatnya sangat keras dan ganas, dimana para pesertanya diperbolehkan saling pukul dan tenda ng dan secara mental memang sudah siap mati. Baru pada abad ke-8, pukulan dan tendangan yang mematikan tidak diperbolehkan lagi. Pertandingan Sumo kemudian sudah sangat mirip dengan pertandingan Sumo pada masa sekarang ini. Tokoh seni bela diri China yang mengungsi dari penjajahan bangsa Manchu juga tersebar ke seluruh Jepang. Berbagai macam gaya dan teknik yang mereka sebarkan menyebabkan timbulnya aliran-aliran baru. Di bawah pengaruh dan bimbingan Chen Yuan Pao, aliran Jiu Jitsu atau seni beladiri aliran lunak didirikan oleh beberapa tokoh beladiri Jepang. Konsep bahwa “Kelunakan dapat mengalahkan kekerasan” dinyatakan berasal dari China, dan aliran ini mengembangkan pengaruhnya yang penting pada pola bela diri lainnya. Diantaranya yang sangat populer ial ah Judo yang didirikan oleh Jigoro Kano.
Karena keuletannya untuk meneliti, melatih, dan mengembangkan diri, Judo telah berhasil diterima merata di seluruh Jepang sebagai satu cabang olah raga modern. Pada tahun 1923, Gichin Funakoshi yang lahir di Shuri, Okinawa pada tahun 1869 untuk pertama kalinya memperagakan Te atau Okinawa-Te ini di Jepang. Berturut-turut kemudian pada tahun 1929 tokoh-tokoh seperti Kenwa Mabuni, Choyun Miyagi berdatangan dari Okinawa dan menyebarkan karate di Jepang. Kenwa Mabuni menamakan alirannya Shitoryu, Choyun Miyagi menamakan alirannya Gojuryu, dan Gichin Funakoshi menamakan alirannya Shotokan. Okinawa Te ini yang telah dipengaruhi oleh teknik-teknik seni bela diri dari China, sekali lagi berbaur dengan seni bela diri yang sudah ada di Jepang, sehingga mengalami perubahan-perubahan dan berkembang menjadi Karate seperti sekarang ini. Berkat upaya keras dari para tokoh ahli seni bela diri ini selama periode setelah Perang Dunia II, Karate kini telah berkembang pesat ke seluruh dun ia dan menjadi olah raga seni bela diri paling populer di seluruh dunia.
Sejarah Funakoshi tidak bisa dipisahkan dengan sejarah keagungan karate. Dimulai sebagai seorang anak yang lemah, pesakitan dan memiliki kesehatan yang kurang baik, orang tua Funakoshi membawanya kepada maestro beladiri pada saat itu yaitu Yasutsune Itosu untuk mengajarinya karate bersama Yastsune Azato ( Azato memberikan banyak pelajaran kepada Funakoshi untuk membangun pikiran disiplin dan tehnik karate).Dengan dibantu oleh seorang dokter, Tokashiki, yang memberikan ramuan-ramuan alami untuk menguatkan fisiknya, dan latihan yang diberikan oleh Azato dan Itosu, Funakoshi tumbuh menjadi orang yang kuat dan gagah. Dia menjadi murid menonjol ketika menjadi murid Arakaki dan Sokon “Bushi” Matsumura. Dia menguasai dan mencapai taraf yang tinggi dalam kedisiplinan. Maestro Funakoshi selalu menceritakan disetiap kesempatan sejarah hidupnya pada bagian ini. Ketika dia hidup bersama kakek neneknya, dia mulai memasuki sekolah wajib dimana dia sekelas dengan anak guru Azato dan menerima intruksi karate pertama dari Yatsusune (Ankoh) Azato.
Ketika pada akhirnya Funakoshi datang ke Jepang dari Okinawa, tahun 1922, dia tinggal bersama orang-orang sekampung halaman di sebuah asrama mahasiswa di Suidobata, Tokyo. Dia tinggal di dalam kamar yang kecil dekat pintu dan dia akan membersihkan asrama ketika para mahasiswa pergi kuliah. Dia juga bekerja sebagai tukang kebun, dan pada malam hari Funakoshi mengajar karate kepada para mahasiswa
Dalam jangka waktu yang tidak begitu lama, ia mendirikan sekolah karate pertamanya di Meishojuku. Setelah itu dia mendrikan sekolah karate di Mejiro, dan akhirnya dia memiliki tempat untuk menghasilkan murid generasi penerus karate, seperti, Takagi dan Nakayama dari Nippon Karate Kyokai, Yoshida dari Takudai, Obata dari Keio, Shigeru Egami dari Waseda ( pembawa sukses dalam perkembangan karate ), Hironishi dari Chuo, Noguchi dari Waseda dan Hirori Ohtsuka ( Otsuka ).
Pada saat melakukan perjalanan keliling Jepang untuk mengenalkan dan mengajar karate, Funakoshi selalu mengajak Takeshi Shimoda, Yoshitaka ( anaknya ), Egami dan Ohtsuka untuk menyertainya. Murid utamanya adalah T. Shimoda dan Y. Funakoshi.
Shimoda merupakan lulusan Nen-ryu Kendo School, dia juga berlatih Ninjutsu, tetapi dia sangat tidak beruntung, Dia sakit dan meninggal pada saat masih muda , tahun 1934, setelah melakukan sebuah perjalanan pertunjukan karate. Dia digantikan oleh Gigo ( Yoshitaka) Funakoshi, yang memiliki karakter yang sangat baik dan tehnik karate yang sangat tinggi. Shigeru Egami berpendapat bahwa tidak ada orang yang lebih baik untuk menggantikannya. Dikarenakan jiwa muda dan metode latihan yang keras ( bahkan dapat dikatakan sebagai latihan yang kuat dan brutal ), membuat terjadinya konflik dengan golongan tua. Othsuka Hironori, yang mengatakan tidak dapat menerima latihan yang sangat keras. Akhirnya Otsuka keluar dan mendirikan sekolah karate sesuai dengan gayanya sendiri, yang diberi nama Wado-Ryu ( Jalan keharmonisan ), dan secara nyata nama itu menyindir Yoshitaka. Dalam jangka panjang metode latihan Yoshitaka adalah sangat penting bagi masa depan karate-do. Tetapi, sekali lagi, dia meninggal dalam usia muda, tahun 1945, ketika berumur 39 tahun, penyakit TBC ( Tuberculosis) menghantarkan dia pada kematian.
Pada abad awal abad ke-20, ketika momentum ultra-nasionalis melanda jepang, perkembangan seni beladiri di Jepang mengalami kemunduran, orang yang berlatih beladiri dianggap sebagai penyembah berhala(pagan) dan seni kebrutalan ( savage art). Funakoshi mencoba mengatasi prasangka tersebut, dan akhinya berhasil mendapatkan pengakuan bahwa karate merupakan salah satu seni beladiri Jepang tahun 1941.
Setelah itu banyak pekumpulan karate berdiri di Jepang. Pada tahun 1942, karate diperkenalkan di Universitas Keio sebagai klub karate pertama, yang lainya termasuk Chuo, Waseda (1930), Hosei, Universitas Tokyo (1929). Klub yang lain didirikan di Shichi-Tokudo, di lingkungan tangsi militer di sudut halaman Istana.
Funakoshi mengunjungi Shichin-Tokudo setiap beberapa hari sekali untuk mengajar, ketika Otsuka mengajar di Shichin-Tokudo, seorang murid, Kogura, dari Universitas Keio yang menyandang Dan III ( san-dan ) Kendo ( Seni melidungi diri Jepang/Japanese Fenching ) dan juga penyandang sabuk hitam karate, mengambil pedang dan berhadapan dengan Otsuka. Semua murid melihatnya dan menunggu apa yang akan terjadi. Mereka menyangka dengan kemahirannya dalam kendo, tidak seorang pun yang dapat menghadapinya dengan pedang terbuka (the shinken). Otsuka terlihat tenang melihat Kogura dan pada saat Kogura mengerakkan pedangnya, Otsuka menyapu kakinya dan Kogura jatuh terjerembab. Kejadian ini tidak banyak diceritakan, dan hal ini membuktikan keahlian Otsuka. Kejadian itu juga membuang kejemuan terhadap filosofi Funakoshi bahwa latihan kata/jurus lebih dari sekedar cukup waktu yang dibutuhkan dan juga sangat penting untuk menujukkan kemampuan besar Gichin Funakoshi sebagai guru dan karateka.
Pada tahun 1922, tiga muridnya, Miki, Bo dan Hirayama berpendapat bahwa berlatih kata saja tidak cukup. Mereka mulai mengenalkan pertarungan bebas ( Jiyu Kumite ). Mereka membuat pelindungan badan dan menggunakan pelindung kepala kendo di dalam pertandingan. Funakoshi mendengar tentang penyimpangan ini, dan tidak menghalangi usaha yang dia anggap telah mengurangi arti seni beladiri karate. Funakoshi menghentikan kunjungannya ke Shichin-Tokudo. Baik Funakoshi dan Otsuka tidak pernah terlihat lagi. Setelah kejadian tersebut Gichin Funakoshi melarang adanya pertandingan karate. ( Tidak pernah ada pertandingan karate hingga setelah ia meninggal tahun 1958).
Ketika Funakoshi datang ke Jepang, ia membawa 16 kata, yaitu 5 pinan (heian), 3 naihanchi (Tekki), kushanku-dai (Kanku-dai), kushanku-sho (Kanku-sho), seisan (Hangetsu), patsai (bassai-dai), Wanshu (Empi/Enpi),chinto (Gankaku), jutte (jitte) dan Jion. Dia memberikan muridnya kata dasar sebelum mereka menunjukkan kemajuan yang berarti untuk meningkat ke tingkat lanjutan. Pada saat itu tidak kurang dari 40 kata masuk dalam kurikulum, kemudian dimasukkan dalam edisi terbatas “ Karate-do for specialist” yang merupakan karya monumental dari Shigeru Egami.
Jigoro Kano, penemu seni beladiri Judo moderen, sekali waktu mengundang Funakoshi dan temannya, Makoto Gima, untuk melakukan pertunjukan seni beladiri di Kodokan (Tomisaka). Kira-kira ribuan orang menyaksikan pertunjukan tersebut. Gima yang belajar setelah Yabu Kenstu adalah pemuda dari Okinawa, memainkan kata Naihanshi Shodan, dan Funakoshi memaikan Kata Koshokun ( Kushanku-dai ).
Sensei Kano menyaksikan pertujukan tersebut dan menanyakan tentang tehnik yang terkandung didalamnya. Dia merasa sangat kagum. Dia mengundang Funakoshi dan Gima untuk menghadiri upacara tendon ( makan malam dengan nasi dan ikan-fish and rice dinner), mereka menyanyi dan berkelakar untuk menyenangkan Funakoshi.
Didalam ketulusannya mengajarkan seni beladiri karate yang baik dan benar, Funakoshi bukan tanpa hujatan. Kritik menghina menyangkut ketegasannya dalam aturan mempelajari kata, dan mempelajari apa yang mereka sebut “lembut” karate merupakan hal yang menyia-nyiakan waktu. Funakoshi tegas terhadap aturan hito-kata sanen ( tiga tahun satu kata ).
Funakoshi adalah orang yang rendah hati. Dia mengajari dan mempratekkan apa yang dia katakan dengan kerendahan hati. Dia tidak memberikan nasehat tentang kebajikan dan kerendahan hati, tetapi pada dasarnya kerendahan hati seseorang adalah bersumber pada pandangan yang benar terhadap sesuatu dan hidup penuh dengan kesadaran. Dia hidup dengan damai dengan dirinya dan orang disekelilingnya.
Kapanpun nama Gichin Funakoshi disebutkan, akan mengingatkan kita pada perumpamaan “ A man of Tao (Do) dan “ A little Man”. Dikatakan seorang murid bertanya “ Apa bedanya antara- a man of tao -dengan a little man ?” Guru menjelaskan ,” sederhana sekali, ketika a little man menerima “dan” ( kelulusan atau rangking ), dia tidak akan sabar menunggu untuk pulang kerumah dan naik keatas kemudian mengatakan kepada semua orang bahwa dia telah mendapatkan “dan” pertamanya. Ketika menerima “dan” keduanya, dia akan naik hingga ke ujung tiang dan mengumumkannya kepada semua orang. Ketika menerima “dan” ketiganya, dia melompat di atas mobilnya dan berparade keliling kota sambil membunyikan klakson, memberitahukan kepada semua orang tentang “dan” ketiganya”.
Guru melanjutkan, “ Ketika- a man of Tao-menerima “dan” pertamanya, dia akan menundukan kepalanya sebagai tanda berterima kasih dan bersyukur. Ketika menerima “dan” keduanya, dia akan menundukan kepalanya hingga kebahu. Ketika menerima “dan” ketiganya, dia akan menundukan kepalanya hingga pinggang dan diam-diam dia berjalan disamping dinding sehingga orang tidak dapat melihat dia.
Funakoshi adalah “ a man of Tao”. Dia tidak memiliki keistimewaan apapun dalam sebuah kompetisi, catatan kemenangan, atau kejuaraan. Keistimewaannya terletak pada kepribadiannya.
0 komentar:
Posting Komentar